Minggu, 05 September 2010

SISTEM DEMOKRASI NEOLIBERAL PILKADAL KEBUMEN

MELEMAHKAN POSISI TAWAR PARTAI POLITIK
Di era pemilu 2010 ini trend perjalanan Pilkada sepertinya halnya Kebumen, yang berjumlah pemilih sekitar 900 ribu ini dan golput tahap 11 april 40% dan 6 juni tahap 2 sekitar 40% ini menghasilkan sebuah perbedaan dan perubahan yang luar biasa di era transisi demokrasi pancasial ke. Demokrasi prosedural dengan system neoliberal ini.

Demokrasi Neoliberal pada Pilkadal sebagai pemicu “melemahnya peranan posisi tawar partai yang dulunya sebagai wadah atas aspirasi keinginan pemilih partai, sekarang mulai ditinggalkan, Sehingga menimbulkan ketidakpercayaan konstituen dengan partai.

Jika dilihat dari fungsi partai politik sebagai lembaga resmi untuk bisa menjadi produk undang-undang hukum bagi kedaulatan rakyat yang semakin melemah. Kelemahan ini ditandai dengan adanya system undang-undang pemilu demokrasi neoloberal yang berdasarakan kekuatan kekuasaan.

Fungsi partai politik sebagai pemegang otoritas penuh ini menjadi sangat dilematis, karena tidak adanya bangunan kuat atas aspirasi konstituen, serta tidak adanya keunggulan program kerja yang bersumber dari AD/ART dan cita-cita perubahan partai politik dilaksanakan dengan baik.

Atas perjalanan Pilkadal yang membutuhkan dana besar dari APBD, Maka kami dari DPC REPDEM (Relawan Perjuangan Demokrasi) Kebumen, menemukan beberapa kelemahan posisi tawar karena factor undang-undang pemilu dan dinamakan masyarakat (serta konstituen partai politik yang lebih bepikir alternatif demi sebuah aspirasi hak politik sebagai pemilih.

YAKNI:

1. Tidak adanya pendidikan politik dari bagi kader partai politik atau pemilih, sehingga tidak ada pemilih idiologis, sehinga berdampak pada nilai kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin.
2. Adanya kekuatan kharismatis dan populernya calon pemimpin, sehingga ada tercerabutnya calon pemimpin dengan visi misi dalam program partai politik, sehingga kurang sinkron antara partai politik sebagai alat perjuangan dengan kebutuhan konstituen partai.
3. Tidak adanya ruang partisipasi dan ide gagasan bagi konstituen partai, terutama pada wilayah kebijakan partai politik, sehingga dalam penyusunan kebijakan yang terjadi otoritarisme lembaga partai ditinggalkan oleh konstituen partai sesuai dengan kepentingan.
4. Adanya kekuatan partai besar dan kecil yang semu, atau partai kursi dan non kursi parlement. Ketika partai yang harus koalisi (gabungan partai tidak se-idiologi) karena UU pemilu mensyaratkan jumlah kursi parlement sesuatu dengan quota.
5. Pemilih cenderung pragmatis dan anti pati dengan adanya keberadaan partai yang menjadi penguasa atau pejabat, dengan tindak korupsi, adudomba, konflik internal abmoral, perselingkungan idiologi dan pengkhianatan partai.
6. Ketidaktegasan pimpinan partai dalam menyikapi perkembangan kebutuhan konstituen, sebagai dasar arah perjuangan partai yang sebagai partai sebagai sebagai wadah aspirasi.

Harapanya:

Adanya pembenahan bagi semua partai politik di Kebumen, yang sesuai dengan fungsi dan tujuan didirikan partai sebagai tempat aspirasi dan berjuang dalam kebijakan pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar